Sekolah Tanpa Ujian Nasional – Ujian Nasional pada tahun 2020 kemungkinan akan menjadi ujian nasional yang terakhir. Kemendikbud merencanakan untuk menghapus model pengujian yang dianggap membebani murid dan menggantinya dengan model baru. Diperkirakan, keputusan tersebut akan diambil pada awal Desember, setelah pengumuman Program for International Student Assessment (PISA).

Mudah diduga, sekolah tanpa Ujian Nasional bakal timbul banyak perdebatan. Terdapat pihak yang mendukung, dan menganggapnya sebagai keputusan tepat yang semestinya sudah dilakukan sejak lama. Ujian Nasional hanya membuat stres. Dan ada juga yang bakal membela Ujian Nasional, mengatakan bahwa itu penting untuk memetakan kualitas pendidikan kita. Lagi pula, seperti yang sering dikatakan para pendukungnya, tanpa Ujian Nasional anak sekolah tidak akan memiliki motivasi belajar. https://www.queenaantwerp.com/

Perdebatan macam itu merupakan bukan hal yang baru dan hanya memperlihatkan kegagapan kita terhadap pendidikan, dan kekisruhan negara mengurusi pendidikan. Sebagai sistem warisan kolonial, pendidikan kita tak mempunyai akar dan arah yang jelas. Logo Kemendikbud bertuliskan: tut wuri handayani yang berarti Membimbing dari belakang. Salah satu ide pendidikannya Ki Hadjar Dewantara. Akan tetapi apabila melihat pendidikan kita hari ini, sama sekali tidak merujuk pada pemikiran Dewantara mengenai pendidikan.

Sekolah Tanpa Ujian Nasional

Jikalau mau ditilik lagi, tut wuri handayani berbicara tentang pendidikan yang demokratis, sebagaimana yang Dewantara ajarkan di sekolah Taman Siswa. Kenji Tsuchiya dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1987) menyebutkan sebagai warisan Dewantara. Pendidikan yang demokratis ini mempunyai arti bahwa para siswa bebas memilih jalannya sendiri. Guru mengikuti dengan baik dari belakang untuk memberikan bimbingan jika hal itu dirasakan perlu.

Demokratisasi tersebut tercermin pula dari ungkapan Dewantara sendiri mengenai salah satu tujuan dari ‘Pendidikan dan Pengajaran Nasional’. Dewantara mengatakan bahwa pendidikan untuk melahirkan manusia merdeka. Lahir dan batin. Tentu kita tidak akan menemukan demokratisasi pendidikan dalam sistem semacam Ujian Nasional. Pendidikan yang mengukur kualitas dari pendidikan dari ketangkasan mengerjakan pilihan ganda.

Membicarakan pendidikan kita saat ini dengan ide-ide pendidikan Dewantara seperti peribahasa api jauh dari panggang. Di sisi lain, arah pendidikan kita tidak jelas lantaran tabiat politikus dan pejabat kita yang senang sekali berlagak paling tahu soal pendidikan. Berkomentar semaunya di media.

Pendidikan berkualitas kerap hanya menjadi slogan politik dan kampanye untuk menarik simpati publik. Kemudian melahirkan pula kebijakan-kebijakan pendidikan yang bisa dikatakan justru membuat ruang kelas bukan sebagai ruang belajar, melainkan meja kursi hafalan. Selama berpuluh-puluh tahun negara membiarkan pendidikan diatur dan dikomentari oleh orang-orang yang tidak benar-benar tahu pendidikan.

Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens dan Homo Deus, belum lama ini dalam sebuah diskusi bersama Jared Diamond menawarkan pandangan yang menarik mengenai pendidikan. Dalam diskusi yang diunggah di kanal Youtube-nya, Harari mengatakan bahwa pendidikan hari ini mesti relevan untuk 20 tahun mendatang, bukan untuk hari ini. Persoalannya, apakah sistem dan kurikulum pendidikan hari ini sudah memakai kacamata futuristik semacam itu?

Misalnya, tes Ujian Nasional yang selama ini digunakan untuk mengevaluasi pencapaian belajar, hanya menguji apakah kita bisa menjawab apa yang sudah kita tahu. Di masa depan, kata Harari, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjawab apa yang belum kita tahu.

Sejauh ini, model dari tes pilihan ganda di sekolah membuat kita terbiasa untuk memiliki impresi bahwa setiap pertanyaan memiliki jawabannya. Sementara tantangan ke depannya justru bagaimana kita dapat siap dengan apa yang tidak kita ketahui. Tak pelak, sebuah tes selayaknya bukan dimaksudkan untuk mempertanyakan apa yang sudah diketahui atau dihafal, tetapi ajuan pertanyaan-pertanyaan baru untuk mengasah kecakapan memecahkan masalah.

Selain itu, isu-isu yang dihadapi generasi mendatang, yang sebenarnya sudah mulai tampak hari ini, adalah bagaimana kita memiliki keterampilan untuk menelisik informasi yang sedemikian melimpah, menentukan informasi yang sahih dan tidak sahih. Memisahkan kebenaran dan kebohongan. Itu hanya akan dimiliki para murid apabila pendidikan kita menyediakan ekosistem belajar di sekolah yang mengasah nalar dan berpikir kritis.

Oleh sebab itu, pendidikan hari perlu bisa membayangkan, atau memprediksi, kiranya wajah dunia dalam satu atau dua dekade ke depan. Contohnya, sudah banyak studi yang memperkirakan bahwa di masa mendatang banyak pekerjaan yang berisiko hilang dan digantikan komputer, mesin, dan robot. Pekerjaan-pekerjaan yang nantinya akan bertahan ialah pekerjaan yang tidak digantikan oleh mesin, pekerjaan yang membutuhkan kreativitas dan kecakapan berpikir tinggi.

Di masa yang lalu, apa yang dipelajari di sekolah akan dipakai sebagai keterampilan sewaktu lulus dan bekerja. Di masa yang mendatang, model tersebut akan menjadi usang. Ilustrasinya ialah apa yang dipelajari di sekolah sangat mungkin menjadi tidak lagi bisa dipakai, lantaran laju teknologi dan industri yang sedemikian cepat. Maka tak ada cara lain, kecuali menumbuhkan murid-murid memiliki sikap bela kemampuan untuk belajar sendiri secara terus-menerus (Buchori: 2007).

Mengasah rasa keingin tahuan menjadi kecakapan kunci yang utama dipelajari murid di ruang kelas. Kecakapan untuk terus belajar dan siap dengan perubahan yang tidak dikenal atau diketahui sebelumnya. Sikap belajar ini selalu berkelindan bersama dengan kasmaran membaca. Sikap belajar tidak hadir dalam ujian, melainkan lewat membaca. Sementara hasrat untuk membaca hanya mungkin tumbuh apabila murid kita memiliki pengalaman bersama buku. Tidak ada cara lain, buku-buku perlu menjadi halaman depan pendidikan.

Meski bukan kebijakan baru dalam sistem pendidikan di Indonesia dan sudah berjalan hampir 20 tahun, ujian nasional (UN) selalu menarik dan selalu up to date untuk didiskusikan terlebih akhir-akhir ini santer terdengar kabar pemerintah tengah serius mengkaji rencana penghapusan UN dengan alasan UN ditengarai gagal mengukur kualitas siswa sehingga konon katanya pemerintah segera akan menggali tanah untuk mengubur UN pada 2021.

Sekolah Tanpa Ujian Nasional

Kontan dan antusias keinginan pemerintah untuk mengubur UN menjadi paradoks dan menuai kontroversi di masyarakat. Tak tanggung-tanggung tokoh sekaliber Jusuf Kalla (JK) menyayangkan keinginan pemerintah tersebut; dia berkeyakinan penghapusan UN justru berbahaya bagi kualitas pendidikan. Menurutnya, ada UN saja kualitas pendidikan kita masih rendah apalagi tidak ada UN.

Tentu saja ucapan tersebut jauh dari ceplas-ceplos, asal bunyi, atau asal viral namun ucapan lahir dari pengetahuan yang utuh, pemahaman mendalam, dan pengalaman pahit-getirnya petualangan dalam ikhtiar peningkatan mutu pendidikan Indonesia. JK beserta para pihak yang kontra terhadap keinginan mengubur UN setidaknya memiliki alasan mendasar, strategis, dan filosofis bahwa UN; pertama, relevan dengan pidato Presiden Jokowi pada saat dilantik kembali.

Presiden menekankan bahwa perlunya menjamin telah dan akan terus dirasakannya out come yang bermutu dari setiap kebijakan dan program pemerintah oleh masyarakat. Dalam konteks pendidikan, hal itu bisa dimaknai bahwa kebijakan dan program pendidikan harus fokus untuk menghasilkan lulusan berkualitas. Dengan demikian kita memerlukan alat ukur nasional untuk menggaransi mutu pengetahuan, keterampilan, dan karakter lulusan terstandar nasional dan global ,sehingga para lulusan akan sukses menjalani kehidupan di abad yang makin kompleks dan cepat berubah ini.

Kedua, faktor penting dan murah yang dapat mendongkrak mutu pendidikan adalah motivasi belajar siswa, motivasi mengajar guru, motivasi manajerial kepala sekolah, dan motivasi keterlibatan orangtua dalam pembelajaran anaknya. Sehingga, kita membutuhkan penilaian yang memotivasi dan menghasilkan informasi bermakna yang digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas dan memperbaiki kinerja guru, sekolah, dan pemerintah. Oleh sebab itu kita perlu memperkuat dan mengharmonisasikan penilaian yang dilakukan oleh guru, satuan pendidikan, dan pemerintah.

Ketiga, salah satu misi mulia pendidikan adalah menghadirkan NKRI dalam setiap hati, pikiran, ucapan, perbuatan, dan indera peserta didik. Oleh sebab itu kita membutuhkan sebuah metode yang efisien dan diberlakukan bagi seluruh siswa Indonesia di mana dengan metode tersebut siswa merasakan dirinya sebagai orang Indonesia yang berbangsa, bertanah air, berbahasa, dan berujian nasional Indonesia.